
Chanelnusantara.com – Batam | Ketegangan kembali terasa di kawasan Simpang Sintai, Kampung Cunting, RT 03/RW 01, Kelurahan Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji, Kota Batam.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Puluhan keluarga yang telah puluhan tahun bermukim di lokasi tersebut kini menghadapi ancaman penggusuran dari Tim Terpadu Kota Batam, dengan dasar hukum yang disebut mengacu pada Perpu, Perda, dan Keputusan Wali Kota.
Namun dibalik sederet regulasi yang dikutip, banyak cacat prosedur dan tumpang tindih kewenangan yang dapat diperdebatkan secara hukum, terutama terkait aspek hak atas hunian layak, tata ruang, status penguasaan lahan, dan kewenangan antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam.
1. Warga Tidak Menolak Pembangunan, Hanya Meminta Keadilan dan Penundaan
Perwakilan warga, Asden Tumanggor, menyampaikan bahwa warga sama sekali tidak menolak pembangunan infrastruktur atau penataan kota. Namun, mereka meminta agar rencana penggusuran ditunda hingga awal tahun 2026, sambil menunggu kebijakan penataan ulang dan kepastian kompensasi yang manusiawi.
“Kami hanya minta waktu dan keadilan. Jangan perlakukan kami seperti penyusup. Kami sudah lama tinggal di sini, punya KTP Batam, bayar listrik dan air resmi. Rp3 juta bukanlah kompensasi yang layak untuk kehilangan rumah,” ujar Asden, mewakili 33 kepala keluarga, Rabu sore (23/10/2025).
2. Dasar Hukum Tim Terpadu Sarat Tumpang Tindih Kewenangan
Tim Terpadu Kota Batam mendasarkan tindakannya pada sejumlah peraturan seperti:
– Perpu No. 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak,
– Perda Kota Batam No. 9 Tahun 2021 tentang Ketertiban Umum, serta Perda No. 2 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung.
Namun, dasar tersebut tidak berdiri sendiri dan harus dibaca dalam konteks Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang lebih tinggi yang justru menegaskan pentingnya koordinasi, pemberdayaan masyarakat, dan penghormatan terhadap hak sosial ekonomi warga.
3. Analisis Hukum: Penggusuran Harus Berlandaskan Perlindungan Hak dan Kewenangan yang Tepat
a. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang ini menegaskan bahwa urusan penataan ruang, perumahan rakyat, dan ketertiban umum merupakan urusan bersama antara pemerintah daerah dan pusat (Pasal 9–14).
Maka, tindakan Tim Terpadu yang mengatasnamakan Pemko tanpa sinkronisasi formal dengan BP Batam sebagai otoritas kawasan perdagangan bebas dapat dikategorikan melampaui kewenangan administratif.
b. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 61 menegaskan, setiap warga berhak mengetahui rencana tata ruang, memperoleh ganti rugi yang layak, dan mengajukan keberatan atas penataan ruang yang merugikan kepentingannya.
Dengan demikian, penggusuran tanpa pemberitahuan yang jelas, tanpa dasar tata ruang yang terbuka, dan tanpa kompensasi layak merupakan pelanggaran terhadap hak ruang warga.
c. PP No. 21 Tahun 2021 dan PP No. 41 Tahun 2021
Kedua PP ini menegaskan prinsip sinkronisasi perizinan dan kewenangan di kawasan perdagangan bebas Batam. Karena itu, pembongkaran rumah warga di ROW Jalan Brigjen Katamso seharusnya dilakukan melalui koordinasi dan verifikasi BP Batam, bukan hanya keputusan Tim Terpadu Pemko Batam.
d. UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR)
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam surat Tim Terpadu, penggusuran tanpa relokasi dan kompensasi layak berpotensi melanggar hak atas tempat tinggal yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Kovenan ini, yang juga diakui oleh Konstitusi Indonesia (Pasal 28H ayat 1 UUD 1945).
4. Kelemahan dan Cacat Formil Surat Tim Terpadu
Surat peringatan berjenjang yang dikeluarkan oleh Tim Terpadu Kota Batam, Nomor 232/TIM-TPD/X/2025 (peringatan pertama, 9 Oktober 2025),
peringatan kedua (13 Oktober 2025), dan peringatan ketiga (14 Oktober 2025), dikeluarkan tanpa prosedur mediasi dan verifikasi status penguasaan lahan sebagaimana diamanatkan oleh:
– Perka BP Batam No. 11 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Pertanahan, dan
– Perka BP Batam No. 36 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan ROW di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Kedua peraturan ini jelas menyebut bahwa penertiban di area ROW harus dilakukan dengan pemberitahuan, sosialisasi, dan pembinaan masyarakat terdampak, bukan dengan pendekatan represif.
5. Seruan Kemanusiaan dan Solusi Berkeadilan
Penggusuran tanpa solusi kemanusiaan akan mencederai semangat “Batam Kota Baru yang Inklusif dan Humanis” sebagaimana visi pemerintah kota sendiri dalam Perda Kota Batam No. 3 Tahun 2021 tentang RPJMD.
Warga Kampung Cunting berharap agar Pemko Batam dan BP Batam meninjau ulang dasar hukum Tim Terpadu, serta membuka ruang dialog untuk mencari solusi:
– Penundaan penggusuran hingga awal 2026,
– Penyediaan kompensasi dan hunian sementara yang layak,
– Verifikasi status sosial-ekonomi warga terdampak, dan
– Mediasi terbuka antara Pemko, BP Batam, dan perwakilan masyarakat.
6. Kesimpulan: Penegakan Aturan Harus Berpihak pada Kemanusiaan
Penertiban yang dilakukan atas nama hukum tidak boleh mengabaikan substansi keadilan sosial dan hak konstitusional warga negara.
Hukum tidak boleh dijadikan alat untuk menggusur rakyat kecil tanpa solusi. Karena sejatinya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UUD 1945, setiap warga negara berhak menempati tempat tinggal yang layak, aman, dan damai, serta dilindungi dari tindakan sewenang-wenang aparat. | *