
Chanelnusantara.com – Batam | Polemik rencana pembongkaran rumah warga di Kampung Cunting, RT 03/RW 01, Kelurahan Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji kembali menuai sorotan publik.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Warga menilai surat peringatan yang dilayangkan oleh Tim Terpadu Kota Batam penuh dengan kejanggalan administratif dan inkonsistensi hukum yang menimbulkan kebingungan serta ketidakpastian bagi masyarakat.
Pasalnya, dalam surat peringatan (SP) pertama, disebutkan bahwa lokasi tempat tinggal warga berada di ROW 30 atau ruang milik jalan selebar 30 meter.
Namun, dalam surat peringatan kedua dan ketiga, tiba-tiba muncul perubahan peruntukan menjadi ROW 100, tanpa penjelasan teknis atau dokumen pendukung yang menjelaskan perubahan batas kawasan tersebut.
“Sangat disayangkan, surat peringatan yang dikeluarkan oleh Tim Terpadu tidak konsisten. Di SP pertama disebut ROW 30, di SP berikutnya menjadi ROW 100. Mana yang benar? Kalau dasar hukumnya saja berubah-ubah, bagaimana bisa tindakan mereka dianggap sah?” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya, Rabu (23/10/2025).
Kejanggalan Administratif: Bukti Lemahnya Dasar Penertiban
Inkonsistensi tersebut dinilai sebagai cacat prosedural yang bisa berimplikasi hukum. Dalam konteks penataan ruang, perubahan status atau luasan ROW (Right of Way) harus didasarkan pada dokumen resmi, seperti peta tata ruang, dokumen rencana detail tata ruang (RDTR), atau izin pengelolaan lahan (IPL) yang diterbitkan oleh BP Batam selaku otoritas pertanahan di wilayah perdagangan bebas.
Namun, hingga kini tidak ada satu pun salinan peta atau dokumen RDTR terbaru yang disertakan oleh Tim Terpadu untuk membuktikan perubahan ROW dari 30 menjadi 100 meter.
Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam:
Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak mengetahui rencana tata ruang, berpartisipasi dalam penataan ruang, serta memperoleh ganti rugi yang layak atas kegiatan pembangunan yang merugikan.”
Selain itu, ketidakkonsistenan dalam dasar lokasi tersebut berpotensi melanggar asas kepastian hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan setiap tindakan pemerintah dilakukan secara tertulis, rasional, dan memiliki dasar hukum yang jelas.
Dualisme Kewenangan: BP Batam vs Pemko Batam
Permasalahan makin kompleks karena wilayah Tanjung Uncang termasuk dalam kawasan perdagangan bebas yang menjadi kewenangan Badan Pengusahaan (BP) Batam berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Artinya, setiap tindakan pembongkaran atau penertiban yang menyangkut lahan dan ruang jalan (ROW) seharusnya dilakukan melalui mekanisme bersama antara Pemko Batam dan BP Batam, sebagaimana diatur dalam:
Surat Keputusan Bersama Wali Kota Batam dan Ketua Otorita Batam Nomor KA.09/HK/III/2001 tentang Penanggulangan Rumah Liar dan Penyelamatan Daerah Tangkapan Air,
serta Peraturan Kepala BP Batam Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Pertanahan.
Namun dalam praktiknya, surat peringatan yang diterbitkan oleh Tim Terpadu tidak mencantumkan tanda tangan atau legalisasi dari pihak BP Batam, yang memperkuat dugaan bahwa tindakan tersebut tidak melalui koordinasi lintas otoritas.
Hak Warga: Bukan Sekadar Bertahan, tapi Menuntut Keadilan Prosedural
Warga Kampung Cunting menegaskan bahwa mereka tidak menolak pembangunan atau program penataan kota yang digagas pemerintah. Yang mereka tolak adalah cara dan prosedur yang dinilai tidak menghormati hak-hak dasar warga negara, terutama hak atas tempat tinggal yang layak.
“Kami hanya ingin kepastian. Kalau memang lahan kami berada di ROW, buktikan dengan peta resmi. Jangan asal kirim surat lalu bongkar begitu saja. Kami warga negara, bukan penyusup,” tegas Asden Tumanggor, perwakilan 33 kepala keluarga.
Sebagian warga bahkan menyatakan siap pindah apabila diberikan kompensasi yang manusiawi, bukan hanya Rp3 juta seperti yang ditawarkan. Mereka berharap pemerintah meninjau ulang kebijakan Tim Terpadu dan membuka ruang mediasi dengan masyarakat.
Refleksi: Antara Ketertiban dan Kemanusiaan
Langkah penertiban semestinya tidak dijalankan dengan pendekatan kekuasaan semata. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, setiap warga negara berhak “menempati tempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan damai.”
Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa penertiban harus dilakukan dengan memperhatikan aspek kemanusiaan, dialog, dan ganti rugi yang proporsional.
Inkonsistensi isi surat peringatan Tim Terpadu Batam bukan sekadar kesalahan administrasi kecil, melainkan indikasi lemahnya dasar hukum dan minimnya transparansi dalam pengambilan keputusan publik. Jika tidak dikoreksi, hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan yang berkeadilan. | *